kupu-kupuQ

kupu-kupuQ

Sabtu, 07 Juni 2014

Model-Model pengelolaan Kelas


MODEL-MODEL PENGELOLAAN KELAS

A.      Model Humanistic
Model Humanistic dalam pengelolaan kelas menekankan pada faktor keunikan dan rasa dignity setiap individu pebelajar. Orientasi pendekatannya lebih condong ke student-centered daripada teacher-centered. Pada model ini, intervensi pembelajar sangat dikurangi, bahkan lebih menitikberatkan pada partisipasi aktif pebelajar dalam proses pembelajaran di kelas, sistem supervise, dan pengembangan internal individu pebelajar. Model ini dikembangkan oleh Carl Rogers.
Menurut Rogers & Freiberg (1994), tujuan dari model humanistic dalam pengelolaan kelas adalah berkembangnya self-descipline (discipline diri) pebelajar. Self-descipline diartikan sebagai pengetahuan dan pemahaman mengenai diri sendiri dan kegiatan-kegiatan yang dibituhkan untuk menumbuhkan dan mengembangkan diri sebagai seseorang. Tujuan inilah yang harus difasilitasi oleh pembelajar sebagi fasilitator dan bukan manajer kelas. Sebagi fasilitator, pembelajar dituntut dapat memberikan fasilitas yang mampu mengakomodir seluruh potensi berkembang pebelajar, agar pebelajar dapat terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
Seperti halnya Maslow, Rogers juga meyakini bahwa seluruh pebelajar memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi yaitu kebutuhan untuk tumbuh, berkembang, dan menjadi. Konsepnya disebut dengan freedom to learn. Pada kondisi ini peran utama orang tua dan pembelajar adalah menyediakan lingkungan yang mendukung dan memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan tersebut. Lingkungan yang mendukung tersebut dicirikan dengan penerimaan terhadap setiap individu sebagi seseorang yang layak dihargai.
Sebagaimana dijelaskan di atas, model humanistic lebih mengarah pada pendekatan pembelajaran berpusat pada pebelajar (students-centered) daripada berpusat pada pembelajar (teachers-centered). Rogers & Freiberg memberikan rambu-rambu terhadap proses pengelolaan kelas, sebagaimana tabel berikut:

TEACHER-CENTERED
TEACHER’S ROLE
INSTRUCTIONAL TECHNIQUES
Higly directive
Teacher directs students behavior and controls through external rewards and punishments drill and practice
Semi-directive/semi-facilitative
Teacher and students cooperate in cooperative groups, designing the classroom and guided establishing its important activities contracts
Non-directive/fasilitative
Teacher encourage students autonomy and self discipline
          
         leturing                                                
         questioning
         demonstration
         
          discussion
          discovery
          role playing
       
          projects
          inquiry
          self assesment
STUDENT-CENTERED

Source: based on C.R. Rogers and H.J. Freiberg, Fredoom to Learn (4 th ed) 1994. New York: Merill.
Rogers membagi gaya pengelolaan kelas oleh pembelajar menjadi 3 macam, yaitu higly-directive, semidirective, dan non-directive. Ketiga macam sosok pembelajar dapat diketahui pula melalui teknik pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran seperti dalam kolom kanan. Semakin anak panah mengarah ke atas, maka dapat diketahui bahwa pembelajar adalah bergaya highly directive, sebaliknya semakin arah panah mengarah ke bawah, maka pembelajar memiliki gaya non directive.
Selain yang tersebut di atas, sosok pembelajar bergaya non directive dicirikan dengan:
1)      reflektif (reflective); maksudnya pembelajar menjadikan perilaku dan komunikasi dengan pebelajar sebagai refleksi terhadap pembelajaran dan untuk mendukung pebelajar dalam menggunakan daya kreasi pemikirannya sendiri selama pembelajaran.
2)      memberikan dukungan para pebelajar (provide support for leaners),
3)      memotivasi kegiatan self assesment (encourage self assesment),
4)      mengembangkan rasa tanggung jawab pebelajar (develop respnsibilityin students) dan
5)      mendukung proses self-actualisasi (foster self-actualization).
Michael Marland (1975) juga mendeskripsikan beberapa strategi yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan kelas model humanistic, yang mencakup:
1.      mempedulikan pebelajar (caring for children), pembelajar harus menunjukkan sikap peduli kepada pebelajar,
2.      membuat aturan (setting rules),
3.      memberikan penghargaan yang abash (giving legtimate praise),
4.      menggunakan humor (using humor), dan
5.      merancang dan membentuk lingkungan belajar (shaping the learning environment).
Beberapa strategi dalam pengelolaan kelas model humanistic ini hanya dapat dimanfaatkan oleh pebelajar yang telah mengakomodasi teori-teori belajar konstruktivis.
B.     Model Demokratik
Seperti halnya pada model humanistic, model demokratis juga sangat menghargai perbedaan dan hak-hak individual pebelajar, dan bahkan menekankan pada pentingnya kebebasan bersuara. Pada model ini, para pebelajar diberikan hak dan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan mengelola kelas mereka. Pendekatan pembelajaran yang diterapkan adalah relatively student-centered. Pada saat yang sama pula, peran pembelajar dalam pengelolaan kelas juga besar. Terkadang para pembelajar diharapkan mampu menunjukkan alasan yang rasional untuk menerima perilaku pebelajar. Model ini diperkenalkan oleh Kounin dan Dreikurs.
Kounin (1970) menyatakan bahwa pembelajar yang sukses dalam mencegah perilaku yang menyimpang dari para pebelajar adalah lebih penting daripada hanya melakukan tindakan penanganan terhadap perilaku menyimpang pada saat perilaku tersebut terjadi. Dalam peribahasa Indonesia dikenal dengan “Mencegah lebih baik daripada mengobati”. Kounin mengidentifikasi beberapa tindakan pembelajar dalam menangani perilaku menyimpang para pebelajar, yaitu with-it-ness, the ripple effect, overlapping, smoothness and momentum, dan maintaining focus.
With-it-ness; dalam bahasa Indonesia dapat dipahami sebagai ‘ke-dengan-an’. Namun dalam konteks pengelolaan kelas, With-it-ness dapat dinikmati sebagai kemampuan untuk menengarai dengan akurat perrilaku menyimpang, sebelum perilaku disprusi itu dimulai. Kebanyakan pembelajar yang sukses adalah lebih banyak menghabiskan waktu untuk peduli dengan perilaku pebelajar. With-it-ness atau ke-dengan-an menjadi factor penting dalam mengelola dan mengatur urutan-urutan belajar tugas dalam kelas. Pembelajar yang menggunakan konsep ini, menurut Kounin, lebih dihargai dan dihormati oleh para pebelajar.
The Ripple Effect, maksud dari the ripple effect adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh perilaku pembelajar terhadap perubahan perilaku pebelajar yang dimaksudkan atau tidak dimaksudkan (dalam bahasa penulis disebut domino effect). Clarke and Stephens (1996) dalam penelitiannya melaporkan bahwa hasil belajar matematika pada kelas sebelumnya yang diajar oleh pembelajar yang baik dan profesional membawa dampak positif terhadap proses pembelajaran matematika pada saat kelas baru ini. Hasil belajar yang diperoleh pada kelas baru tersebutlah yang dinamakan the ripple effect. Efek ini berlaku  bukan saja pada pebelajar, melainkan pada pembelajar sekaligus. Konsekwensi the ripple effect bagi pembelajar adalah upaya perbaikan kompetensi mengajar, baik kompetensi proffesional, maupun akademik. Sedangkan bagi pebelajar adalah pengurangan tindakan yang menyimpang dan melakukan penyesuaian tindakan dengan norma dan nilai yang berlaku pada kelasnya.
Overlapping, kejadian berulang-ulang. Menurut Kounin, istilah overlapping adalah dua atau lebih kejadian yang berlangsung di dalam kelas secara simultan dan pada waktu bersamaan. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa kelas salah satunya dicirikan dengan adanya kejadian-kejadian yang berlangsung secara berulang-ulang, spontanitas, dan unpredictabel. Dan pembelajar yang berhasil adalah pembelajar yang mampu mengelola kondisi tersebut dalam satu waktu situasi inilah yang dimaksud oleh Kounin dengan Overlapping. Overlapping dapat terjadi pada dua situasi yang berbeda, yaitu when a desist is required in the course of a lesson, dan when something intrudes on the flow of the lesson. Kounin (1970) menganjurkan para pembelajar untuk menggunakan overlapping, yaitu kemampuan untuk menengarai dan menangani perilaku menyimpang sambil tetap melanjutkan pelajaran.
Smoothnesdan Momentum; pembelajar yang sukses adalah pembelajar yang dapat mempertahankan pembelajaran berlangsung secara kondusif dan lancar. Hal ini berarti para pembelajar harus mampu menangani overlapping yang terjadi dalam kelas dan sekaligus melanjutkan proses pembelajaran secara lancar dengan memelihara momentum aktifitas pembelajaran yang kondusif. Smoothness adalah tidak adanya perilaku yang menginterupsi kelancaran kegiatan. Momentum adalah tidak adanya perilaku yang memperlambat jalannya pelajaran.
Maintaining Focus; faktor terpenting dalam pengelolaan kelas bukanlah banyaknya intervensi pembelajar terhadap kejadian yang berlangsung, melainkan bagaimana mempertahankan para pebelajar tetap focus pada proses belajar itu sendiri.
Ada 3 (tiga) cara bagi pembelajar yang dapt digunakan untuk mempertahankan dan memelihara focus pebelajar dalam proses pembelajaran, yaitu :
1.      mengembangkan cara-cara yang dapat membuat para pebelajar memiliki sikap tanggung jawab, seperti; pemberian tugas individual, presentasi produk, dan uji kompetensi,
2.      menggunakan kelompok, dan
3.      memformat kelas atau materi pelajaran yang minim dengan kebosanan.

C.    Model Behavioristik
Titik tekan model behavioristik adalah pada modifikasi perilaku yang dianggap sebagai aspek korrektif. Dengan demikian, jika ada perilaku menyimpang, maka perlu dilakukan koreksi dengan tujuan untuk meminimalisasi atau mengubah perilaku tersebut. Pada aspek korektif ini, penggunaan reinforcement (penguatan) dan punishment (hukuman) merupakan elemen kunci keberhasilanya. Karena itu, tidak mengherankan kalau penggunaan prinsip dalam aspek korektif berakar dari prinsip-prinsip yang ada pada teori conditioning.
Presland (1989) mendiskripsikan urutan-urutan umum yang dapat digunakan oleh pembelajar dalam pengelolaan kelasnya  untuk melakukan intervensi perilaku individual para pebelajar. Urutan-urutan tersebut adalah: (1) defining the problem, (2) measuring the problem, (3) destermining antecendences and consequenses , (4) deciding how to change antecendences and consequenses, (5) planning and implementing the intervention, dan (6) follwing up.
Model behavioristik dalam pengelolaan kelas dijalankan secara kaku dan berstandar, jika ada pebelajar melakukan kesalahan seperti; berbicara keras, atau lari-lari, maka mereka akan segera bertindak dengan hukuman melalui pengurangan point-point yang didapatkan sebelumnya. Dalam model ini, penggunaan reinforcement (penguatan) juga telah diberikan, dengan tujuan untuk meminimalisir dan mengontrol perilaku menyimpang para pebelajar.

D.    Model Kontruktivis
Model ini merupakan terjemahan dari konsep DePorter (2000) yaitu ‘mengorkestrasi  lingkungan yang mendukung’. Sebagai pancaran dari aliran konstruktivis, tentunya model ini lebih berpihak pada pendekatan pembelajaran student-centered seperti pada model humanistic dan model demokratik.
Penggunaan teori konstruktivisme dalam proses pembelajaran dapat dilihat melalui aktivitas-aktivitas berikut:
1.      Pebelajar berpeluang mengemukakan pandangannya tentang sesuatu konsep.
2.      Pebelajar berpeluang untuk bertukar persepsi antara satu sama lain.
3.      Pebelajar menghormati pandangan alternatif teman-teman mereka.
4.      Semua pandangan pebelajar dihormati dan tidak dipandang rendah.
5.      Pembelajaran berpusatkan pada pebelajar.
6.      Aktivitas berasakan ‘hands-on’ dan ‘minds-on’.
7.      Mementingkan kemahiran saintifik dan kemahiran berfikir.
8.      Pebelajar mengaplikasikan idea baru dalam konteks yang berbeda untuk mengukuhkan kefahaman idea tersebut.
9.      Pebalajar menghubung kait idea asal dengan idea yang baru dibina.
10.  Pembelajar menyediakan alat / bahan yang sesuai.
11.  Pebelajar digalakkan untuk mengemukakan hipotesis dan bukan pembelajar menerangkan teori.
12.  Pembelajar mengemukakan soal yang dapat meransang pebelajar untuk mencari jawaban.
13.  Pembelajar tidak menyampaikan maklumat secara terus kepada pebelajar.
14.  Pebelajar banyak berinteraksi dengan pebelajar lain dan pembelajar.
15.  Pembelajar prihatin terhadap keperluan, kebutuhan dan minat pebelajar.
16.  Pebelajar bekerja dalam kelompok.
Senada dengan Dick, Degeng (2000) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasiskan konstruktivisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Pengetahuan adalah non-objektif, temporer, selalu berubah dan tidak menentu.
2.      Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman kongkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi.
3.      Mengajar adalah menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan.
4.      Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, obyek atau prespektif yang ada dalam dunia nyata sehingga muncul makna yang unik dan individualistik.
5.      Si pembelajar bisa memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang dipelajari.
6.      Segala sesuatu bersifat temporer, berubah, dan tidak menentu. Kitalah yang memberi makna terhadap realitas.
7.      Ketidakteraturan.
8.      Si pebelajar dihadapkan kepada lingkungan belajar yang bebas.
9.      Kebebasan merupakan unsur yang sangat esensial.
10.  Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai.
11.  Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan.
12.  Kontrol belajar dipegang oleh si Pebelajar.
13.  Tujuan pembelajaran menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas kreatif-produktif dalam konteks nyata.
14.  Penyajian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan ke bagian (deduktif).
15.  Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si Pebelajar.
16.  Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulative dengan penekanan pada keterampilan berfikir kritis.
17.  Pembelajaran menekankan pada proses.
18.  Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata.
19.  Evaluasi yang menggali munculnya berfikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar.
20.  Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menekankan pada yang dipelajari dalam konteks nyata. Evaluasi menekankan pada keterampilan proses dalam kelompok.
Berkaitan dengan pengelolaan kelas, pembelajar yang konstruktivistik akan mengedepankan keragaman melalui penataan lingkungan belajar yang bebas. (Degeng, 2000). Secara lebih rinci DePorter (2000) menjelaskan tata pengelolaan lingkungan belajar (pengelolaan kelas). Menurutnya prinsip utama yang perlu dilakukan pembelajar dalam mengelola lingkungan belajar adalah pandangan sekeliling, dan kaitan mata-otak. Pengelolaan kelas yang baik adalah yang melibatkan barbagai modalitas belajar, yaitu visual, auditorial, dan kinestetik.
Dengan demikian, jelas bahwa lingkungan belajar mempengaruhi kemampuan pebelajar untuk berfokus dan menyerap informasi. Penggunaan poster ikon akan menampilkan isi pelajaran secara visual, sementara poster affirmasi menguatkan dialog internal pebelajar. Alat bantu belajar dapat menghidupkan gagasan abstrak dan mengikutsertakan pebelajar kinestetik. Pengaturan bangku mendukung hasil belajar. Musik membuka kunci keadaan belajar optimal dan membantu menciptakan asosiasi.

·         Sumber:
ü  Azhar, Imam.2013. Pengelolaan Kelas: Dari Teori Ke Praktis. Yogyakarta: Insyira
ü  http://model-model-pengelolaan kelas.com di akses pada tanggal 18 April 2014 27.38 WIB

1 komentar:

  1. Mbak bisa minta referensi toko yg jual buku imam azhar dari teori ke praktek

    BalasHapus